Oleh: Sarju Winardi dan Indra Novian
(Pengurus Harian Magmagama 1999-2000)
Awal tahun 80-an merupakan era kebangkitan kembali HMTG setelah mengalami kelesuan organisatoris sejak akhir dasawarsa 70-an. Salah satu indikasi kreativitas mahasiswa yang menggelora dalam jiwa muda yang haus akan tantangan terlihat dengan berdirinya sebuah organisasi pecinta alam yang menamakan dirinya Keluarga Pecinta Alam Magmagama, sebuah badan semi otonom HMTG. Organisasi ini berdiri tepatnya pada tanggal 10 Februari 1981 di Yogyakarta, tepatnya di kampus Jetis, karena pada waktu itu perkuliahan mahasiswa Teknik Geologi FT UGM dilaksanakan disana.
Organisasi ini menggunakan istilah Keluarga Pecinta Alam (bukannya Kelompok Pecinta Alam, seperti organisasi-organisasi lainnya) dengan tujuan agar para anggota menjalin hubungan layaknya sebuah keluarga yang terjalin kuat, erat, dan tidak terputus oleh waktu, sehingga keanggotaan Magmagama tidak berhenti ketika seorang anggotanya menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Teknik Geologi FT UGM.
Di era awal berdirinya, Keluarga Pecinta Alam Magmagama (selanjutnya disebut dengan Kapala Magmagama) beranggotakan para volunteer yang mempunyai dedikasi yang sangat kuat. Dengan mode rambut yang semi gondrong dan celana cut-bray mereka menglanglang nusantara dan dengan penuh kebanggan mengibarkan bendera Magmagama mulai dari puncak gunung yang tinggi, ngarai, lembah, sampai tempat-tempat yang jarang didatangi oleh orang dan sulit dijangkau. Suatu kebanggan dan kehormatan dalam setiap anggota Magmagama yang telah menyelesaikan suatu ekspedisi, suatu proses pencarian jati diri, mengalahkan ego, mengukur batas kemampuan diri, dan mengagumi “Karya Besar Sang Illahi” dan akhirnya sebuah kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang kecil dan lemah, terlebih di hadapan kekuatan alam yang tiada batas ukuran kekuatannya. Kesadaran ini membawa para anggota Magmagama untuk terus berlatih menyempurnakan teknik orientasi medan, teknik survival, P3K, dan sebagainya dalam bentuk diklat yang diikuti secara wajib bagi calon anggota yang akan memasuki organisasi ini. Kemampuan outdoor activities ini yang membedakan anggota Magmagama dengan mahasiswa Teknik Geologi lainnya, terlebih dalam kegiatan di lapangan, terutama ketika menyelesaikan pemetaan mandiri.
Pada bulan Maret 1984, Magmagama melakukan ekspedisi ilmiah berupa survey pendahuluan untuk mengetahui lembah Bengawan Solo Purba, berlokasi di Parang Gupito, Pacitan, yang dibimbing oleh Pak Sriyono dan Pak Sugeng Wiyono.Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan ilmiah kepada ilmu kebumian khususnya bidang geologi.Ketua Magmagama pada waktu itu dipegang oleh Ismail Yusanto dan sekretarisnya adalah Gontho Pramuhargono.
Pada tahun 1984 juga diadakan ekspedisi “Gadjah Mada II ke Irian Jaya” yang diadakan oleh Mahasiswa Pecinta Alam UGM dan Magmagama berperan aktif dengan mengirimkan 2 wakilnya, yaitu Ichsan Effendi dan Muanas. Sebagai bentuk kebersamaan dan kesetiakawanan, kegiatan ini didanai dari hasil bantingan para anggota Magmagama.
Masih pada tahun 1984, sang Ketua Magmagama beserta bendahara (sdr. Huadi), atas nama Magmagama, melakukan penyelidikan tentang “Penyebaran Endapan Kuarter Pada Endapan Dry Valley dan Hubungannya Dengan Penyediaan Lahan Pertanian dan Airtanah di Kec. Rongkop, Gn. Kidul”.
Magmagama dengan mottonya, “Cinta Alam, Cinta Perjuangan, Cinta Tanah Air” semakin eksis dan dikenal oleh sesama organisasi sejenis di Indonesia dan Yogyakarta, khususnya.Bendera Magmagama yang berwarna kuning dengan simbol berupa bumi berwarna hijau dan gambar palu geologi serta tulisan MAGMAGAMA-Kapala Teknik Geologi-Yogyakarta yang berwarna merah tampak sering terlihat pada setiap event kepecintaalaman.
Sayang sekali penyimpanan data yang kurang baik mengakibatkan peristiwa penting periode ‘84-’96 tidak kami telusuri, hanya saja pada periode ini telah dimulai adanya kegiatan rutin berupa Diklat dan Geowisata sebagai sebuah “Lomba Lintas Alam Berwawasan Lingkungan”.
Pada tahun 1996 Kapala Magmagama mengadakan kegiatan Geowisata Nasional V, suatu event tingkat nasional yang diadakan di Parangkusumo, Parangtritis, Goa Cerme dan sekitarnya.Sebagai ketua panitia adalah Eko Budiyanto (mahasiswa angkatan ‘92) dan sekretarisnya adalah Nur Cahyo Probo (‘93). Kegiatan ini sangat sukses dengan jumlah peserta 70-an tim di seluruh Indonesia dan sumbangan dana dari sponsor yang lumayan besar (waktu itu sekitar 12 juta-an), meski rencana anggaran dari panitia hanya setengahnya.
Geowisata sebagai salah satu kegiatan Magmagama yang cukup besar direncanakan tiap 2 tahun sekali, selain sebagai ajang lomba yang juga dimaksudkan untuk ajang peningkatan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup dan kepariwisataan, serta silaturahmi antar sesama pecinta alam/lingkungan hidup. Pelaksanaan Geowisata sendiri akhirnya tidak terikat batasan waktu karena harus disesuaikan dengan keadaan pada saat acara ini digelar.
Melanjutkan tradisi sebelumnya, pada bulan Maret tahun 1997 diadakan Diklat Magmagama VIII, yang dikenal dengan Diklat Badak, yang berhasil merekrut cukup banyak anggota dari angkatan 94,95,96. Diklat ini diadakan di kawasan Hutan Wanagama di Gunung Kidul, Yogyakarta dengan ketua panitia Mas Fitri dan ketua Magmagama, Mas Andri Wiyanto (‘92).
Pada periode ini ada beberapa ekspedisi penting keluar Jawa (disayangkan dokumentasi tidak tersimpandengan baik), diantaranya ekspedisi ke Gn. Leuser, ekspedisi ke Pegunungan di Sulawesi dan ekspedisi ke Gn. Rinjani.
Geowisata Nasional VI diadakan di Borobudur pada tahun 1998 dengan Ketua Panitia adalah Mas Ramdhoni (angkatan ‘93) dan sebagai ketua Magmagama adalah mas Fitri Setiadi (‘93 juga). Kegiatan ini juga yang juga berskala nasional ini dilaksanakan pada saat bangsa Indonesia mengalami badai krisis moneter yang sangat hebat sehingga sebagai imbasnya kegiatan ini mengalami kerugian hampir 6 juta-an dan terimakasih kepada HMTG serta para anggota Magmagama yang lagi-lagi bantingan uang saku untuk menutup kekurangan dana ini, baik secara dana pribadi maupun dana yang dihimpun dari kesepakatan yang dibuat dengan pengurus harian HMTG periode itu yang sebagian besar merupakan anggota Magmagama hasil dari diklat Badak. Hujan deras mengiringi penutupan acara ini dan kerja keras serta kebersamaan seluruh panitia diakhiri dengan pembongkaran dan moving seluruh peralatan dari Borobudur ke Yogyakarta.
Bulan Maret 1998 diadakan Diklat Magmagama IX bertempat di kawasan Bebeng, Kaliurang.Sebagai Ketua Panitia Diklat IX adalah Sarju Winardi angkatan ‘95. Banyak panitia yang waktu itu mbolos kuliah untuk mengurusi para peserta. Hal ini akan menjadi tradisi setiap pelaksaan diklat dan sebagai salah satu bentuk pengorbanan kepada Magmagama. Untungnya nilai ujian akhir hasilnya lumayan sehingga tidak perlu “mendalami” mata kuliah yang sama di tahun berikutnya.
Akhir tahun 1999 Ketua Magmagama periode sebelumnya (mas Fitri) telah selesai menjalankan tugasnya dan akan dilakukan pemilihan ketua baru, namun karena Sidang Umum tidak berhasil menetapkan ketua dan pengurus yang lain, maka ditunjukkan sdr. Akmaluddin (‘95) dan Sarju Winardi (‘95) untuk memegang kepengurusan demisioner sampai terpilih ketua yang baru.Pada tahun 2000 setelah melalui serangkaian rapat dan musyawarah maka terpilihlah Taufik (‘97) sebagai ketua Magmagama periode 2000/2001.Periode 2001/2002 jabatan ketua Magmagama dipegang oleh Tyo (‘98).2002/2003 dipegang oleh Nugroho Imam (2000) alias Gombreng, sedangkan kepengurusan 2003/2004 dipegang oleh Fajar (2000) alias Mule’.
Diklat Magmagama X diadakan di Kawasan Hutan Trajumas Kulonprogo-Purworejo pada bulan Maret tahun 1999. Dilat XI diadakan di sekitar Bebeng-Kaliurang pada bulan Maret 2001 dengan ketua panitia diklat Tyo (‘98), sedangkan Diklat XII dilaksanakan tahun 2002, dengan ketua Hombreng (2000). Diklat XIII dilaksanakan pada bulan Maret 2003 di kawasan Bebeng-Kaliurang dengan ketua panitia M. Sito Cahyono (2001)
Tahun 2000 diadakan Geowisata Nasional VII bertempat di Pantai Parangtritis dan sekitarnya. Sebagai ketua panitia adalah Naslin (‘97) dan sekretarisnya adalah Umi (‘97 juga). Meski kondisi perekonomian bangsa Indonesia masih terpuruk akhirnya kegiatan ini terselenggara juga dan setidak-tidaknya panitia tidak mengalami kerugian.
Pertimbangan-pertimbangan yang matang harus tetap dikedepankan agar pelaksanaan Geowisata dapat berhasil dengan baik. Geowisata VIII yang sedianya dilaksanakan pada tahun 2003 dengan sangat terpaksa diundur waktu pelaksanaannya dengan harapan persiapan yang dilakukan dan kerjasama serta kebersamaan antar anggota Magmagama akan lebih baik sehingga akan menunjang pelaksanaan Geowisata VIII ini.
Selain kegiatan-kegiatan tersebut diatas, Kapala Magmagama mengadakan kegiatan rutin penyambutan mahasiswa baru dengan melakukan pendakian massal.Kegiatan mountaineering individu anggota Magmagama maupun kolektif bersama-sama juga sering dilakukan, terutama untuk gunung-gunung di Pulau Jawa hampir semuanya pernah menjadi ajang anggota Magmagama. Penelusuran gua juga acap menjadi ajang bagi anggota Magmagama untuk berlatih, berkreasi dan belahar mengenai speoleologi yang merupakan bagian dari ilmu kebumian. Kemampuan rapling juga dikembangkan di tubuh Magmagama sebagai bagian dari materi diklat yang diadakan tiap tahun.Demikian juga dengan teknik survival, baik survival menetap atau berjalan juga menjadi bekal bagi setiap anggota Magmagama menelusuri rimbun dan teduhnya belantara nusantara.
Kebersamaan terlihat dalam kehidupan tubuh Magmagama pada periode sekarang ini.Semangat ini sangat penting untuk dikembangkan di tengah-tengah kesibukan kuliah dan praktikum yang luar biasa. Semangat kebersamaan inilah yang membuat Magmagama berbeda dengan organisasi pada umumnya.