Tanggal 12 – 16 Oktober 2018 lalu, dua orang anggota Kapala Magmagama yaitu Premira Arifatul Khorida (Ucul) dan Cahyo Gunawan (Bolong) bersama Tim Relawan dari Fakultas Teknik UGM berangkat ke Palu, Sulawesi Tengah untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Bantuan-bantuan tersebut berasal dari Fakultas Teknik, Kageogama (Keluarga Alumni Teknik Geologi Gadjah Mada), serta bantuan dari beberapa komunitas lain, termasuk donasi yang disalurkan melalui Kapala Magmagama. Sebelumnya, gempabumi tektonik telah terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada hari Jumat, 28 September 2018, jam 17.02.44 WIB dengan M 7.7 Lokasi 0.18 LS dan 119.85BT dan jarak 26 km dari Utara Donggala Sulawesi Tengah, dengan kedalaman 10 km (data dari BMKG). Gempa tersebut disusul oleh tsunami yang terjadi di Kota Palu, serta likuifaksi di Desa Balaroa, Petobo, dan Jono Oge.
Pada tanggal 11 Oktober, dua orang anggota tim telah berangkat terlebih dahulu ke Makassar untuk membelanjakan dana bantuan sesuai kebutuhan (sebagian besar bantuan diserahkan dalam bentuk barang seperti alat filter air, kebutuhan bayi dan wanita, sembako, dan makanan instan, dikarenakan barang-barang tersebut sulit didapatkan di pengungsian). Empat orang anggota yang lain dari tim menyusul ke Makassar tanggal 12 Oktober. Rombongan tiba di Makassar pada malam hari, sehingga perlu menginap terlebih dahulu di Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan melanjutkan perjalanan ke Palu keesokan harinya. Perjalanan ditempuh menggunakan jalur udara.
Tiba di Palu, tim dari UGM bergabung dengan tim relawan dari UMI dan dari universitas setempat untuk menyalurkan bantuan. Sebelumnya, bantuan dibagi-bagi dan dikemas terlebih dahulu agar dapat disalurkan secara merata. Sore hari, tim berangkat ke beberapa lokasi pengungsian yang ada di bagian timur Kota Palu serta mengunjungi salah satu lokasi likuifaksi, yaitu di daerah Petobo. Kondisi Desa Petobo hancur total. Sebagian besar warga masih tinggal di tenda-tenda yang didirikan di timur Desa Petobo. Tim relawan tiba di lokasi pengungsian tersebut menjelang malam hari, dan dalam keadaan hujan. Sebagian besar warga rela berbasah-basahan untuk mengambil bantuan, sehingga tim relawan berinisiatif untuk mengantar dan menjemput pengungsi dari tenda menggunakan payung. Barang yang paling banyak diminta oleh pengungsi di lokasi ini adalah peralatan bayi serta kue atau makanan yang dapat langsung dimakan.
Pembagian bantuan kepada korban gempa bersama relawan setempat (dok. pribadi)
Hari berikutnya, tim relawan dari Fakultas Teknik UGM melakukan tugas yang berbeda-beda, dikarenakan oleh keterbatasan waktu yang dimiliki. Dua orang ditugaskan untuk membelanjakan lagi barang-barang kebutuhan pengungsi dan menyerahkannya bersama dengan tim relawan setempat. Dua orang lagi, yaitu dosen Arsitektur UGM, ditemani oleh dosen dari Universitas Tadulako berkeliling mencari lokasi fasilitas umum terutama masjid dan gereja yang rusak dan dimungkinkan untuk dibangun kembali. Sisa dari tim, yaitu Premira dan Cahyo sebagai perwakilan dari Kapala Magmagama sekaligus perwakilan dari Teknik Geologi melakukan survei awal lokasi-lokasi yang terkena dampak bencana serta mencari lokasi yang dimungkinkan untuk dapat dibangun fasilitas umum, dilihat dari sisi geologinya.
Kami, tim survei geologi, membagi Palu menjadi dua bagian, yaitu bagian timur dan bagian barat. Keduanya dipisahkan oleh Sungai Palu. Pada hari pertama, survei difokuskan pada daerah Palu bagian barat. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Masjid Agung Palu dan daerah sekitarnya. Kondisi masjid rusak sedang-berat. Halaman masjid yang luas digunakan oleh warga sebagai tempat untuk mendirikan tenda-tenda pengungsian. Kami kemudian menuju muara Sungai Palu, dimana terdapat Jembatan Palu berwarna kuning yang rusak terkena tsunami. Kemudian, kami berkeliling di daerah terdampak tsunami. Di daerah ini, seluruh rumah hancur total. Sebagian warga kembali ke daerah tersebut untuk mencari sisa-sisa harta benda yang masih bisa diambil. Selanjutnya, kami bergerak ke arah selatan dan barat hingga mencapai ujung selatan Kota Palu. Hal-hal utama yang kami lalukan selama survei adalah mencatat koordinat titik-titik tertentu, sehingga dapat diketahui daerah yang rawan berdasarkan tingkat kerusakannya.
Kondisi Desa Petobo pascagempa dan likuifaksi (dok. pribadi)
Siang hari setelah makan siang, kami mengelilingi Kota Palu bagian timur, termasuk ke daerah likuifaksi di Desa Petobo. Meskipun tidak disarankan untuk mengunjungi daerah ini karena rawan penyebaran penyakit, namun masih banyak warga yang masuk ke daerah likuifaksi. Sebagian mencari sisa-sisa harta benda, atau berharap menemukan keluarga mereka yang terkubur, meskipun pencarian oleh pemerintah setempat sudah dihentikan. Sebagian yang lain hanya sekedar ingin mengetahui seberapa parah kerusakan yang diakibatkan oleh likuifaksi, sehingga banyak warga yang menjadikan tempat tersebut sebagai tempat swafoto. Setelah dari Desa Petobo yang relatif berada di daerah selatan Kota Palu, kami bergerak ke arah utara. Kami mencapai bagian teluk dan berhenti sejenak untuk menikmati pantai di sore hari, sembari melihat-lihat puing bekas tsunami.
Hari berikutnya, yaitu hari senin, tiga anggota dari tim pulang terlebih dahulu ke Yogyakarta karena ada tugas lain dari kampus yang harus dikerjakan, tersisa Premira dan Cahyo yang tidak kebagian tiket pesawat sehingga harus pulang hari selasa, serta Mbak Rani yang masih akan menyalurkan bantuan bersama teman-teman dari Satu Bumi dan relawan setempat. Premira dan Cahyo kemudian melanjutkan survei. Kali ini, survei difokuskan pada daerah sekitar Stadion Gawalise di Palu barat bagian selatan karena daerah tersebut diperkirakan dapat menjadi lokasi selanjutnya untuk pembangunan fasilitas umum. Kami juga mengunjungi lokasi likuifaksi yang lain, yaitu di daerah Balaroa.
Foto daerah terdampak likuifaksi di Balaroa (dok. pribadi)
Hal menarik dari survei hari kedua ini adalah kami menemukan lokasi bergesernya bidang sesar sekitar 2 meter. Sesar ini diperkirakan melintang di tengah Kota Palu dengan arah tenggara-barat laut. Kami mengambil beberapa foto, kemudian berkeliling lagi. Menjelang sore hari, kami berkunjung ke posko relawan UMI untuk berpamitan karena besok akan kembali ke Yogyakarta. Di sana, kami disambut dengan minuman hangat dan beberapa kue. Pada saat kami ke sana, beberapa warga datang untuk meminta bantuan, serta mengambil air bersih karena di posko ini disediakan filter air dengan jumlah yang mencukupi sehingga warga dapat lebih mudah dalam mencari air bersih. Kami juga berbagi cerita dan berdiskusi dengan relawan dari UMI dan Universitas Tadulako yang sudah di sana cukup lama. Setelah itu, kami diajak untuk mengunjungi mata air yang menjadi hangat setelah terjadi gempa. Mata air tersebut kini dimanfaatkan warga untuk mandi, bahkan pada saat malam hari.
Foto jalan yang “patah” akibat pergeseran sesar (dok. pribadi)
Pada mulanya kami berencana untuk menunggu datangnya tambahan bantuan yang sedang dalam perjalanan, untuk kemudian ikut membantu mendistribusikannya. Namun, bantuan tersebut belum datang hingga menjelang petang, sehingga kami izin kembali ke penginapan dan mencari makan malam terlebih dahulu kemudian akan kembali lagi nanti malam. Namun, setelah makan, Premira tertidur di penginapan sehingga Cahyo berangkat sendiri menuju posko. Bantuan tetap belum datang hingga pagi.
Pagi-pagi kami harus bangun untuk mengejar pesawat. Sebelumnya, kami mengembalikan motor yang kami pinjam untuk survei sekaligus berpamitan. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya kami dapat menaiki pesawat dan kembali ke Yogyakarta dengan selamat.
Bonus foto, hehe. (dok. pribadi)