Cerita Perjalanan Dikjut Mountaineering Magmagama XXVIII di Gunung Sumbing via Bowongso

Cerita Perjalanan Dikjut Mountaineering Magmagama XXVIII di Gunung Sumbing via Bowongso

SEPENGGAL CERITA SOAL SUMBING: MAKNA SEBUAH PUNCAK

Jumat, 12 April 2019

Setelah rangkaian persiapan yang panjang, Jumat akhirnya tiba juga. Pada hari itu, kami, anggota Kapala Magmagama dari senior hingga angkatan 28 akan melaksanakan Dikjut Mountaineering di Gunung Sumbing, via Bowongso, Wonosobo.

Ketika hari Jumat datang, ia tiba seperti tidak ada ancang-ancang, terasa berlalu cepat, meski sejatinya kami yakin jika 80 persen persiapan kami untuk perjalanan nanti malam sudah siap. Bagi beberapa dari kami, menatap carrier yang masih kosong dan mengumpulkan niat untuk mempacking terasa lebih mudah dari bayang-bayang gagahnya Sumbing, puncak tertinggi kedua di Jawa Tengah, puncak tertinggi ketiga di pulau Jawa, dibawah dominasi Mahameru dan Slamet. Sumbing, tempat yang kami tuju untuk datang, gunung anggun yang harus ditaklukkan.

Pukul 10 pagi, angkatan 28 Magmagama sudah berkumpul di dapur yang menyempit, didesak oleh puluhan carrier, logistik, perlengkapan, dan kesibukan-kesibukan lain baik dari angkatan muda ini maupun dari beberapa senior. Tidak banyak barang yang dipinjam dari Mapala lain baik di UGM Raya maupun seantero Jogja, namun meski begitu bukan berarti tugas PJ Perkap, Cumpleng dan Kancit, menjadi mudah. Dua pemuda itu membuat daftar list dan menyibukkan harinya bukan dengan urusan carrier mereka sendiri, namun membagi barang-barang yang harus dibawa perkloter. Dalam perjalanan mendaki Sumbing di Dikjut Mountaineering kali ini, kontingen total yang akan ikut serta, beserta 13 dari kami, berjumlah 26 orang. 12 diantaranya senior angkatan 27 dan 1 senior 25. Angkatan 26 menyatakan akan menyusul naik Sabtu malam, mengingat jadwal mereka bertabrakan dengan fieldtrip.

Setelah Cumpleng dan Kancit mengkoordinir pembagian perkap, berupa tenda, kompor, fly sheet, dan perlengkapan memasak, hari itu dihabiskan dengan membagi konsum untuk dua kloter, yang dikoordinir oleh Bengep dan Duren. Sementara Sugi, PJ Acara bersama dengan Pahpoh, berusaha masuk dalam setiap koor, membantu apa yang kurang dan memastikan acara sesuai dengan rundown. Namun di permulaan hari Jumat itu, kami merasa persiapan pra-acara kurang begitu matang untuk hal-hal mendetail seperti pembagian penanggung jawab barang dan logistik antar kloter, sehingga kegiatan berlangsung lebih lama dan tidak bisa mengikuti waktu yang harus mengaret hingga pukul 4 sore.

Pada pukul empat, kami kembali ke rumah atau kos masing-masing, bersiap-siap, untuk kembali berkumpul pukul lima sore untuk persiapan, briefing dan keberangkatan. Karena senior 27 memiliki agenda lain di jam yang sama, maka waktu untuk briefing diundur hingga pukul enam. Beberapa dari angkatan kami sendiri sudah stand by di dapur dari pukul lima, selain untuk memastikan barang-barang di dapur tidak ada yang tertinggal, juga mengecek barang kelompok dan memastikan kembali barang kelompok apa yang mungkin penting tapi belum terpikir untuk kami bawa. Hari beranjak cepat kala itu, ketika semua orang sudah berkumpul, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh.

Kami membagi kloter keberangkatan, yang memang berlangsung lama karena sebelumnya, Sugi dan Pahpoh sebagai PJ Acara, belum mengkoordinasikannya (mulanya, terpikir hal-hal detail seperti ini bisa selesai dengan spontanitas saja, tetapi ternyata penting untuk dikoordinasikan). Tepat pukul delapan, kloter 1 berangkat, kloter dua menyusul 20 menit setelahnya.

1
MAGMAGAMA XXVIII bersama dewan berkumpul di dapur sebelum berangkat

Kloter satu dipimpin oleh Mbokyem, si PJ Survey, jadi mereka sampai di basecamp dengan lebih cepat dan di rute benar setelah hampir tiga jam perjalanan. Plengeh, Bengep, dan Wawik langsung beristirahat ketika mereka sampai. Mbokyem masih terjaga, menunggu kloter dua untuk sampai tujuan, meski sebenarnya, perjalanan di kloter dua tidak semulus yang dia bayangkan.

Di kloter dua, terjadi sedikit chaos. Sugi mungkin mengambil bagian di dalamnya. Mulai dari dia yang memimpin terlalu cepat, hingga map yang salah, kelompok terpencar, dan tersesat. Sugi bersama dengan Oneng, mbak Hilih, dan mas Toi saat itu. Jalan yang mereka ambil menuju basecamp hanyalah mengikuti panduan google map, meskipun ada sedikit kecurigaan dari kami jika panduan tersebut salah. Jalan yang kami lalui begitu ekstrim, batu-batu dan curam serta licin dengan sisi kanan seperti jurang. Malam itu terasa berat dilalui, hingga akhirnya Sugi, Oneng, mbak Hilih, mas Sony, mas Dobby, dan mbak Upoh adalah kontingen kloter dua yang pertama kali sampai. Rombongan yang berisi Cumpleng, Duren, Kancit, Tuo, dan Horas masih tak tahu dimana. Mereka juga saling terpencar, dan susahnya sinyal menghambat komunikasi di antara kami di basecamp.

Pada malam itu, Sugi dan Mbokyem sendiri adalah yang paling akhir tidur, setelah mencari dan memastikan semua orang sudah sampai di basecamp tanpa kurang suatu apapun. Di perjalanan setengah dari kloter dua, mereka tersasar bahkan sampai ke basecamp Kaliangkrik dan semakin terhambat karena ban motor Cumpleng bocor. Pukul setengah tiga, mereka berdua beranjak tidur, lelah dan penat, tetapi senang karena teman-teman selamat.

2
Suasana basecamp

Sabtu, 13 Mei 2019

“Sugi, hei, bangun.”

Wajah mas Kinthil adalah yang pertama kali Sugi lihat ketika dua jam setelahnya, ia terbangun dari tidur. Pagi itu mulai terasa dingin, dan kami semua merasakannya, karena tidak semua dari kami menggunakan sleeping bag untuk tidur. Kami rasa PJ Acara, baik Sugi maupun Pahpoh terlalu kelelahan untuk bangun pertama, dan PJ membangunkan pada waktu itu, Wawik dan Plengeh, ternyata belum bangun juga. Untung mas Kinthil bangun pagi dan membangunkan PJ Acara.

Kami bergegas untuk bersiap-siap dan briefing baik dari PJ Acara 28 sendiri, maupun dari senior 27 dan 25. Setelah makan, kami berolahraga dan pemanasan, sebelum mendapatkan pengarahan dari basecamp untuk jalur pendakian dan barang-barang yang kami bawa. Kami diberikan seplastik kopi dan santan, bertujuan untuk menangkal hal-hal mistik yang dipercayai masyarakat Bowongso menjaga gunung Sumbing. Setelahnya kami berdoa, berfoto, dan kloter satu, yang dari 28 sendiri beranggotakan: Pahpoh, Bengep, Wawik, Duren, Bucin, Plengeh, dan Mbokyem berangkat lebih dahulu, tepat di pukul delapan pagi.

3
MAGMAGAMA XXVIII dan Dewan bersiap untuk pendakian

Kloter dua, berisi Sugi, Tuo, Oneng, Horas, Kancit dan Cumpleng serta setengah senior 27 menyusul 20 menit setelahnya. Kami antar kloter tersambung via HT yang dibawa oleh PJ Acara. Meski kami semua kurang tidur malam sebelumnya, namun kami tidak kurang semangat. Perjalanan menuju parkiran swadas kami lalui dengan senang dan tertawa-tawa meski di kloter 1, Wawik dan Bucin sempat muntah, namun itu hanya di awal saja. Jalanan berbatu dan cukup terjal serta menanjak menjadi pemanasan yang cukup terasa untuk kaki-kaki kami. Setelah satu setengah jam berjalan, kloter satu mengumumkan mereka sudah sampai di Parkiran Swadas. Setengah jam setelahnya, ketika kloter dua sudah menyusul di Parkiran Swadas, kloter 1 telah berada di Gardu Pandang dan beristirahat agak lama di sana. Mereka memamerkan jika di Gardu Pandang tengah memasak dan minum pocari sweat.

4
Suasana di Gardu Pandang

“Sugi, sugi, kloter kamu mau enggak?” ini kata Duren, lewat HT.

HT itu menjadi ajang kami saling menghibur antar kloter, sedikit offset tugasnya dari apa yang kami rencanakan, tetapi tidak apa, sedikit hiburan membuat penat kami terasa berkurang. Cumpleng yang ikut mendengar apa yang dikatakan Duren menjadi heboh.

“Iya mau, tinggalin aja di Gardu Pandang, nanti biar kloter dua minum kalau sudah sampai.”

“Kalian sampai mana?” jawab Pahpoh, di kejauhan.

“Ini istirahat sebentar di Parkiran Swadas, mbak Upoh buat jasjus.”

5
Plank Parkiran Swadas

Well, jika di kloter satu mereka menjadikan pocari sweat sebagai minuman penyemangat, kloter dua membawa segepok jasjus rasa jambu biji yang menjadi minuman penyemangat kami. Dan karena kesenjangan antar pocari sweat dan jasjus jambu, kloter satu akhirnya tidak jadi meninggalkan air berisi pocari sweat di gardu pandang. Random memang, mereka berpikir kloter dua lebih mewah karena membawa jasjus daripada pocari sweat.

“Kapala…” Sugi iseng bergumam di HT.

“Magmagama…” sahut Upoh.

“Kokohkan pundak teguhkan langkah…”

“Cakep…”

Perjalanan dari Gardu Pandang ke POS 1 untuk kloter satu, dan dari Parkiran Swadas ke Gardu Pandang untuk kloter dua masih terasa penuh keceriaan, kami saling menghibur untuk hal-hal random yang terpikir melalui HT. Di kloter dua sendiri, Horas seperti tidak fit. Kami mulai banyak istirahat di perjalanan menuju Gardu Pandang, dan beristirahat cukup lama di sana karena kondisi Horas yang kelelahan. Sugi, leader kloter 2 berusaha untuk menyemangati dan menekan waktu untuk mempercepat, tetapi sepertinya di kloter dua, Tuo juga sedikit lelah. Perjalanan menuju POS 1 terasa lebih lelah dan lama karena kami berjalan lambat dan sedikit-sedikit beristirahat. Tetapi tidak apa-apa, karena dalam pendakian kelompok seperti ini, seperti kata bang Junub, tidak apa-apa perlahan, asalkan semuanya selamat.

Jalan menuju POS 1 berupa tanah setapak yang menanjak dan agak lembab. Waktu itu jalan menuju POS 1 terasa tidak ada yang datar, terus menanjak dan menanjak. Meskipun sebenarnya, medannya cukup bersahabat, begitu juga iklim ketika kami semua mendakinya. Mungkin ketika hari berhujan, medan tanah yang menanjak ini bisa jadi basah dan licin, dan pastinya akan lebih menguras tenaga. Kami bersyukur itu tidak terjadi di hari itu.

Sekitar satu setengah jam setelahnya, pukul setengah 12 siang lewat beberapa menit, kloter dua sampai di POS 1, dan kloter satu sedang perjalanan menuju camp plalangan, pos bayangan sebelum tiba di POS 2. Tidak lupa Tuo mengeluarkan kamera, merekam dan dokumentasi, menceritakan pengalaman kami sampai POS 1 dengan napas terengah dan muka lelah, tetapi dari matanya, kami tahu dia sangat bersemangat. Setelah istirahat selama sepuluh menit dan melanjutkan perjalanan kira-kira selama dua puluh menit, melalui HT, kloter satu menginformasikan mereka sudah sampai camp Plalangan dan sedang beristirahat.

6
Kondisi Kloter 1 saat sampai di Pos 1 – Taman Asmara

Perjalanan menuju camp Plalangan bisa jadi berlalu mudah, mengingat medan yang tidak terlalu menanjak, hanya begitu panjang. Di kloter dua, kondisi kami perlahan-lahan mulai terkikis. Horas beberapa kali meminta istirahat karena perutnya sakit, begitu juga Tuo, sementara Sugi merasakan peruTnya terasa sakit dan jantung berdebar. Mountain sickness, kalau kata Bengep, tapi mungkin tidak karena Sugi bereksperimen meminum kiranti dengan susu coklat. Saat itu, kondisi Cumpleng dan Kancit sama-sama mulai kelelahan, tetapi mereka bertiga kompak menutupinya supaya anggota yang lain yang memang tengah sakit tidak patah semangat. Perjalanan menuju camp Plalangan terasa begitu jauh dan tak berujung.

“Ayo semangat, semangat,” itu adalah kata-kata yang terus kami dengar, berulang-ulang, ketika satu dari anggota kloter dua ada yang mengeluh sakit. Mbak Hilih, dengan senyum selebar matahari, menjadi radio penyemangat di kloter dua. Kami penasaran, siapa ya radio penyemangat di kloter satu?

Sekitar satu setengah jam setelahnya, kami kloter dua sampai di Camp Plalangan. Segera, kami menghubungi kloter satu untuk mengirim kabar.

“Iya, kami on the way ke POS 2, nih,” sahut Pahpoh di kejauhan. Suaranya juga mulai terdengar lelah. Berjalan sambil berbicara memang menguras tenaga.

“Jauh nggak?”

“Emm, dua puluhan menit,” Pahpoh terdengar tidak yakin. Kami yang mendengar tidak percaya. Karena terakhir kali Pahpoh bilang begitu, tiga puluh menit doang kok, ternyata perjalanan memakan waktu satu setengah jam dari POS 1 ke Camp Plalangan.

“Sudah sampai Mata Air?”

“Err… belum?”

Sambungan HT diputus. Kami bersiap berangkat lagi, tetapi Mbak Hilih dan Mbak Upoh mengatakan jika kami memaksa lanjut, maka belum tentu semua kuat karena sekarang sudah melewati jam makan siang. Wajah Horas, Tuo, dan Oneng juga tampak lelah dan lapar. Selain itu, kami mendapat kabar dari kloter satu kalau mereka bertemu pendaki yang turun gunung dan tidak merekomendasikan membangun camp di POS 3, melainkan POS 2 saja. Akhirnya setelah lama berpikir, kloter dua yang pertama memutuskan perubahan rundown.

“Hei, Pahpoh, kloter satu sampai mana?”

HT tersambung. Mas Kinthil yang menjawab. Sugi dan Mas Dobby, bergantian menjelaskan soal perubahan rundown via HT kepada kloter satu. Mulanya, di rundown seharusnya kami sampai ke POS 2 pukul 12 siang, tetapi sampai setengah dua, belum satupun dari kloter satu maupun dua yang sampai ke POS 2.

“Istirahat saja dulu, masak mie, atau makan apapun, diisi dulu perutnya. Nanti menu makan siang dan malam jadi satu saja. Kita ngecamp di POS 2, kan? Biar makan malam nggak usah ada, dijadikan makan sore, lalu cepat istirahat karena summit besok pasti lebih lelah karena kita mulainya dari POS 2.” Kami bergantian berbicara dengan HT.

as Kinthil tampak tidak setuju, sehingga Sugi dengan cepat beralih meminta untuk bicara dengan konsum, di mana PJ konsum dua-duanya berada di Kloter 1. Duren menyahut, dan dia mengiyakan perubahan rundown mendadak itu. Di kloter dua, Mas Dobby dan Mas Kopong membongkar carrier dan memasak mie dengan Mbak Upoh, sementara Cumpleng dan Kancit membuat fly sheet ketika hari mulai gerimis.

7
Kloter 2 beristirahat untuk makan siang di Camp Plalangan

Setelah beristirahat cukup lama, hampir setengah jam, HT kembali tersambung. Suara Pahpoh, “Sugi, masuk, Sugi. Lapor, kloter satu sudah sampai Mata Air.”

Mendengar kloter 1 sampai di mata air dan sudah membangun camp, kami di kloter dua akhirnya bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Perut sudah diisi, tenaga sudah diistirahatkan sebentar, kami akhirnya berangkat.

Jalan dari Camp Plalangan sampai ke POS 2 semakin menanjak, di mana sisa-sisa gerimis membuat jalanan menjadi licin, terutama di beberapa daerah yang juga begitu sempit. Tanjakan juga mulai terasa tinggi, dengan tangan dan trekking pole, kami saling membantu menarik satu sama lain pada tanjakan tinggi. Hutan lindung berubah menjadi kawasan yang lebih terbuka. Di kejauhan, Sindoro tampil begitu besar, namun sangat memesona. Kami terpana beberapa detik sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Suara tawa-tawa dan perbincangan mulai terdengar, dan kami semua mengira jika POS 2 mungkin sudah dekat. Dengan semangat, meski jalan terasa begitu menanjak, kami semua terus naik hingga akhirnya bertemu dengan banyak tenda dan pendaki-pendaki lain. Tertera di salah satu palang, Sumber Mata Air. Mendongak sedikit, sudah bisa dilihat posisi POS 2.

“Ajeeeeeeeng,” Oneng yang pertama kali berteriak. Di sisi kiri, di area yang rimbun tertutup pepohonan, di sanalah Kloter 1 berada, sudah mendirikan camp. Mereka tidak jauh berbeda dengan kami di kloter dua. Wajah kelelahan, baju kotor, tetapi semangat kami semua belum pudar; karena puncak belum diraih.

Sugi dan Cumpleng membangun dome, sementara Horas yang memang sakit selama perjalanan beristirahat langsung di dome yang dibangun oleh kloter 1. Saat itulah, perut Sugi semakin melilit dan kepalanya pusing. Dia sampai muntah dan akhirnya hanya tidur di dome setelah membangun satu tenda. Ia melewatkan makan malam, tetapi teman-teman yang lain tetap memasak untuk makan malam. Saat itulah, terjadi miskom. Pahpoh tidak tahu perubahan gabungnya makan malam dan makan siang bertujuan agar kami tidur cepat, dan PJ Acara yang lain juga sudah tidur sejak sore sehingga tidak memberitahu kalau seharusnya pukul 7 rombongan sudah harus tidur.

Sepanjang malam memekat dan senja pudar, kami semua (kecuali yang memang sakit di dome), berkumpul untuk memasak di dapur umum. Namun malam itu, bagian dari 28 yang memasak sangat sedikit, karena banyak yang ada di dalam dome, beberapa ada yang sakit, namun sisanya mungkin hanya sebatas kelelahan, di mana ini menjadi bahan evaluasi karena yang memasak justru didominasi oleh senior.

8
Suasana memasak untuk makan malam

Setelah makan malam, sekitar pukul 9, semua rombongan masuk ke dalam dome, beristirahat dan tidur karena besok pagi, ada puncak yang harus ditaklukkan.

Minggu, 14 Mei 2019

“Sugiiii, Durennnn, bangun, bangun! Bengep!”

Dome yang terisi Sugi, Duren, Tuo, dan Bengep tergoncang oleh Horas, PJ membangunkan summit subuh itu. Jam menunjukkan pukul setengah 1. Dari dalam dome, terdengar suara bersahut-sahutan Horas dan Bucin di luar yang tengah membangunkan manusia-manusia yang bergelung di dalam dome itu.

Kami semua terbangun dan mulai menyiapkan untuk summit. Kondisi beberapa yang sakit belum pulih benar, tetapi istirahat membuat mereka lebih fit.

Pada pukul dua tepat, kloter satu siap berangkat mendaki puncak, sementara kloter dua meniti di belakangnya. Malam itu cerah dan berangin namun tidak terlalu dingin sehingga cukup bersahabat sebagai payung kami mendaki puncak Sumbing. Dalam perjalanan, di kloter 2 Horas muntah berkali-kali sehingga perjalanan melambat karena kloter 2 harus menunggu yang lain. Sugi sempat pusing, namun setelah minum paracetamol, dia baik-baik saja. Karena itu, akhirnya kami memutuskan untuk menuju puncak, tidak perlu antar kloter, namun bersama-sama saja.

Perjalanan dari POS 2 terasa cukup panjang, jalur yang kami lalui berupa sabana luas tanpa vegetasi, sehingga angin malam langsung menerpa kami. Meski begitu, kami tetap semangat dan menjaga ritme karena perjalanan menuju puncak ini dibatasi waktu bukan lagi oleh para PJ Acara, namun alam itu sendiri. Jika kami terlambat, kami akan kehilangan kesempatan melihat sunrise.

Kami sampai di Camp Gajahan setelah satu jam berjalan, di mana Camp Gajahan adalah lokasi paling strategis terakhir untuk membangun tenda, sehingga di sana masih ditemui beberapa pendaki lain dan tendanya, dan selepas itu, perjalanan kami hanya akan ditemani oleh angin dan sabana Sumbing yang begitu luas. Di Camp Gajahan, kami beristirahat sebentar, memasak air (karena termos tertinggal), sebelum melanjutkan perjalanan. Tidak ada bedanya, hingga sampai ke Tanjakan PHP, kami masih berteman dengan sabana luas. Beberapa kali, kami bertemu pendaki lain yang juga tengah memburu summit.

Jam empat kurang beberapa menit, kami sampai di POS 3. Semilir angin yang sejuk, perpindahan dari angin malam menjadi udara pagi hendak datang terasa begitu nyaman. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan. Dari POS 3 hingga ke puncak, jalur mulai berubah. Jika sebelumnya jalur berupa tanah dan menanjak secara perlahan dan diapit oleh sabana seluas permadani, jalur menuju puncak ini mulai berbatu-batu dengan tanjakan yang tinggi. Pohon-pohon dan semak yang tumbuh mengapit kami.

Dalam setengah perjalanan menuju puncak, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Waktu terus berjalan, bahkan semburat kehadiran matahari sudah membayang di langit pagi, membangunkan Sindoro yang mulanya tertutup kabut menjadi segar dipandang di kejauhan.

Kami sempat berhenti di tengah perjalanan, menatap langit yang gelap berangsur-angsur terang. Pagi sudah datang dan matahari tidak kelihatan karena tertutup puncak Sumbing itu sendiri, namun kami semua tahu, sunrise sudah datang, dan kami terlambat. Meski begitu, kami tidak menyerah. Setelah merasakan euphoria matahari terbit meskipun tidak di puncak, kami melanjutkan perjalanan.

“Kyu.. kyu..!”

Terdengar teriakan dari bawah, dan kami semua terkejut melihat Mas Tenot dan Mas Genter datang menyusul di bawah kami. Cepat sekali mereka jalannya! Mungkin itu yang dipikirkan oleh kami semua. Senior angkatan 26 lainnya juga tampak menyusul.

Pukul setengah tujuh tepat, kami semua sampai di Puncak Kawah. Dari sana, kami bisa melihat dominasi langit barat yang ditutupi jajaran gunung, Sindoro, Kembang, dan Slamet di kejauhan. Di sisi timur, adalah pemandangan Kawah Sumbing yang tampak hangat dimandikan sinar matahari. Kami beristirahat sebentar dan berfoto, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Rajawali, puncak tertinggi Gunung Sumbing.

10
Pemandangan Gunung Sindoro, Kembang, dan Slamet yang berbaris rapi

Jalur menuju Puncak Rajawali terbilang yang paling ekstrim, di mana kami harus melewati tebing batu dan seolah climbing untuk meraih Puncak Rajawali di sebaliknya. Bebatuan itu tinggi dan curam, kami harus hati-hati agar tidak tersandung.

Setelah perjalanan yang panjang dan menguras tenaga, pukul delapan kurang 10 menit, kami semua sampai di Puncak Rajawali 3361 mdpl, puncak tertinggi Gunung Sumbing.

12
MAGMAGAMA XXVIII dan Dewan di Puncak Rajawali

Dari tempat kami berdiri, kami bisa melihat segalanya. Si gunung kembar yang lain, Merbabu dan Merapi tampil kecil di sisi timur di kejauhan, matahari yang bersinar terik, dan jajaran kehidupan di kota Wonosobo di bawah kami. Palang bertuliskan Puncak Rajawali dipenuhi pendaki-pendaki lain, dan kami menghabiskan waktu untuk beristirahat, foto, dan lain-lain.

Saat itu dengan melihat teman-teman yang tertawa dan bergembira, melihat betapa terbayarnya lelah mereka di perjalanan dan kesulitan, sakit, perdebatan atau apapun itu yang sebelumnya telah dilewati, ada rasa bangga di dada. Kami menyelesaikannya. Seseorang pernah berkata: “Gunung tidak pernah bisa ditaklukkan, kita hanya bisa belajar daripadanya.” Dan kami senang, kami bisa memahami itu, memahami apa artinya sebuah puncak.

Pukul 10 tepat, kami akhirnya turun dari puncak, kembali ke camp kami di Mata Air.

Perjalanan turun menghabiskan waktu dua jam. Ketika siang datang, kami akhirnya baru bisa merasakan betapa indahnya sabana luas yang disajikan oleh Sumbing via Bowongso ini. Tidak heran banyak pendaki yang menyebut sabana Sumbing seperti duplikat sabananya Gunung Rinjani. Perjalanan kami terasa mudah, jalurnya turun, dan disajikan pemandangan yang menarik, sabana luas itu tampak seperti permadani ilalang tak berujung yang menyelimuti tubuh Gunung Sumbing.

Kami sampai ke camp sekitar pukul 12 siang lebih beberapa menit, dan ternyata sebelumnya Duren sudah meminta tolong untuk senior yang stay di camp untuk memasak demi menghemat waktu, sehingga ketika kami sampai, kami langsung makan, lalu packing dan checking barang-barang agar bergegas turun, supaya kami tidak kemalaman karena esok hari adalah Senin.

Checking dan packing berlalu cukup kondusif dan cepat, kami memastikan barang-barang kelompok tidak ada yang tertinggal, lalu secara beriringan, kami turun dari camp kami menuju basecamp. Kami juga memastikan tidak ada sampah yang tertinggal di tempat bekas kami membangun dome, karena kami datang sebagai pecinta alam, bukan hanya sekedar pendaki.

Perjalanan turun terasa cukup cepat, selain karena kami sudah tahu jalurnya dan bisa menerka-nerka jarak antar POS hingga ke basecamp, kamipun bersemangat untuk turun. Pahpoh di depan sebagai leader sementara Sugi sweeper di belakang. Pukul empat sore, kami sudah keluar dari area Hutan Lindung dan sampai di Gardu Pandang. Selama perjalanan turun, entah kami angkatan 28 maupun dari senior sering terpeleset karena jalan yang turun dan merupakan medan tanah terasa licin dan berair karena malam sebelumnya hujan. Bahkan, Mas Kinthil sampai luka karena jatuh.

Barisan depan dan belakang terpisah jauh, karena Plengeh sakit kakinya, sehingga kami yang di belakang harus berjalan lebih pelan. Ketika pukul setengah enam, barisan depan menginformasikan lewat HT jika mereka sudah sampai basecamp, sementara Sugi, Pahpoh, Duren, Cumpleng, dan Kancit beserta Mas Kinthil adalah barisan paling belakang menemani Plengeh, dan saat teman-teman yang lain sampai basecamp, kami masih setengah jalan dari Parkiran Swadas. Terdapat cerita lucu yang terjadi kala itu.

Dalam perjalanan turun, Pahpoh merasa kelelahan, meski sebenarnya kami semua merasa lelah, tetapi sepanjang jalan, Pahpoh yang paling banyak sambat. Saat itu, Pahpoh ngide untuk menghubungi basecamp meminta bantuan untuk Plengeh yang kakinya sakit agar jalan kami yang di belakang bisa lebih cepat.

Ia menghubungi basecamp via HT. “Basecamp, masuk basecamp. Ganti. Salah satu anggota, Nadhifa, kakinya sakit. Kami memerlukan bantuan.”

Tetapi ternyata, area Parkiran Swadas sudah hampir selesai dan kami memasuki area perkampungan warga, dan Plengeh sendiri merasa dia nggak butuh bantuan dari basecamp. Pihak basecamp sampai menghubungi orang di Gardu Pandang dan Pahpoh kewalahan menjelaskan. Lucunya lagi, bapaknya bicara dalam bahasa jawa dan Pahpoh tidak bisa berbahasa jawa. Sebenarnya, di sana Sugi, Duren, dan Kancit bisa berbahasa jawa, tetapi mereka diam saja karena hiburan rasanya mendengar ucapan bapaknya dan Pahpoh via HT itu.

Tepat pukul enam, akhirnya semua rombongan sampai ke basecamp. Plengeh langsung duduk dan meluruskan kaki, sementara Sugi dan Duren memindah-mindahkan carrier di depan basecamp ke dalam. Di sela-sela rasa penat, beberapa dari kami ke masjid untuk beribadah, sementara yang lain istirahat dan membersihkan diri seperlunya, sebelum masuk ke agenda selanjutnya, yakni eval pukul setengah tujuh nanti.

“Capek ya?” Bucin bertanya kepada Sugi dan lainnya yang tidak sholat dan tengah berdiam di basecamp. Kami menghabiskan waktu menunggu hingga pukul setengah tujuh untuk berbincang dan saling pijat. Haha.

Tepat pukul setengah tujuh, kami semua baik angkatan 28 dan senior-senior yang ikut berkumpul untuk sesi eval. Sesi eval berjalan santai namun serius, di mana kami eval dari dua arah, baik dari 28 dan dari dewan serta senior. Di sana kami mengeval mulai dari setiap PJ, dari pra-acara hingga syn. Eval berjalan sekitar satu setengah jam, di mana pukul delapan kurang, kami akhirnya packing dan bersiap-siap untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, kami tidak lupa memastikan siapa yang menjadi leader dan sweeper, memastikan barang tidak ada yang tertinggal, dan juga berterimakasih kepada pihak basecamp. Dan tepat sebelum kami meninggalkan basecamp, tak lupa kami memandang ke langit barat di kejauhan, yang samar-samar dalam gempitanya malam, menunjukkan puncak Sumbing, yang tampak begitu jauh dan adikuasa.

Terima kasih, Sumbing. Terima kasih, bukan karena telah menghantar kami sampai puncakmu, namun terima kasih untuk mengantar kami kembali pulang dengan selamat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.